Reforma Agraria Jokowi-JK Merupakan Skema Operasional Capital Finance Imperialism

Agrabulukumba - Reforma agraria menurut Presiden Jokowi adalah, proses alokasi dan konsolidasi kepemilikan, penguasaaan/akses dan penggunaan lahan. Kebijakan reforma agraria pemerintahan Jokowidodo-Yusuf Kalla dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu tanah obyek reforma agrarian (TORA) dan Perhutanan Sosial. 

Skema reforma agraria dalam RPJM, 9 juta hektar dibagi menjadi dua, Pertama legalisasi asset 4,5 juta hekrtar dan yang kedua redistribusi tanah 4,5 juta hektar. rencana implementasinya, legalisasi asset 4,5 juta hektar dibagi menjadi dua, pertama legalisasi asset tanah transmigrasi yang belum bersertifikat seluas 0,6 juta hektar dan kedua legalisasi asset terhadap 3,9 juta hektar, yang tidak dijelaskan asset apa yang akan dilegalisasi.

Sedangkan redistribusi 4,5 juta hektar lahan, yang rencana implementasinya juga dibagi menjadi dua. Pertama, redistribusi tanah dengan sasaran ex-HGU/tanah terlantar dan tanah Negara lainya seluas 0,4 juta hektar dan pelepasan kawasan hutan 4,1 juta hektar. Selain 9 juta hektar sebagai TORA (tanah Obyek Reforma Agraria) pemerintahan Jokowidodo-Yusuf Kalla menjadikan program perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar yang keduanya memiliki perbedaan. Program reforma agraria 9 juta hektar pelaksananya dibawah kementrian agraria dan tataruang/ATR, sedangkan perhutanan sosial 12,7 juta hektar dibawah kementerian lingkungan hidup dan kehutanan/KLHK.
Proses penetapan dan pelaksanaan TORA, terdapat tiga sekema, pertama, penegasan sebagai tanah Negara kemudian pemberian TORA dengan menetapkan legalisasi asset. kedua Pelepasan kawasan hutan Negara kemudian dilakukan redistribusi. yang ketiga pelepasan oleh pemegang hak dan ditegaskan menjadi tanah Negara kemudian dilakukan konsolidasi tanah.

 Skema Operasional Capital Finans Imperialism 



Pemerintahan Jokowi juga, membuat 3 norma dan standar refroma Agraria yakni, pertama, mengenai lahan untuk di usahakan yang menjadi kategori TORA , hak milik atas tanah “tanah tidak dapat diperjualbelikan atau dipecah melalui system waris” sedangkan Perhutanan Sosial diberikan hak akses/izin pengelolaan hutan dengan mengacu standar tidak merusak ekosistem hutan dan penebangan kayu hanya diperbolehkan di hutan produksi. Kedua mengenai luasan maksimum penguasaan lahan/hutan ditentukan berdasarkan kriteria sebagai berikut untuk TORA berdasarkan kepadatan penduduk, jumlah penduduk miskin, dan ketimpangan kepemilikan lahan sedangkan untuk Perhutanan Sosial dengan pertimbangan kepadatan penduduk, jumlah penduduk miskin, fungsi hutan (konservasi, lindung, produksi) dan jenis pemanfaatan (kayu non kayu). Norma ketiga adalah pengelolaan secara klaster/kelompok yakni, pengelolaan dikonsolidasikan dalam satu klaster. Dikelola oleh kelompok masyarakat/koperasi dan jenis tanaman sama satu klaster. 

Setelah mempelajari dan melakukan studi terhadap pengertian, tujuan, proses dan peruntukan dari program reforma agrarian pemerintahan Jokowi-JK serta melihat kenyataan implementasinya. Aliansi Gerakan reforma Agraria (AGRA) menilai bahwa Reforma Agraria Jokowi-JK adalah reforma agrarian palsu. Lebih jauh, dijalankannya reforma agrarian Jokowi akan semakin mengintensifkan monopoli tanah bagi kepentingan imperialism di Indonesia, baik untuk penyediaan bahan baku terutama komoditas perkebunan seperti kelapa sawit, karet, tebu dan perkebunan kayu (HTI) maupun pasar produksi imperialism seperti bibit, pupuk, obat-obatan pertanian. Dilain sisi reforma agrarian jokowi juga membuka ruang yang luas bagi berputarnya capital imperialism melalui hutang dan anggunan perbankkan melalui berbagai skema yang disediakan seperti pola kemitraan, PIS –AGRO, begitu juga implementasi reforma agrarian Jokowi-Jk akan menindas Reforma Agraria sejati dan cita-cita pembangunan industry nasional di Indonesia. 

Dalam pandangan AGRA, program reforma agraria tidak cukup hanya “bagi-bagi Aset dan Sertifikasi”. Reforma Agraria sejati harus dapat menjawab dan membebaskan buruh tani yang tidak memiliki tanah dan terpaksa menjual tenaga dan bekerja dalam sistem pertanian terbelakang dengan upah yang sangat rendah. sebagian mereka terpaksa menyewa tanah dengan harga yang tinggi, sebagian lainya terpaksa menjadi petani pemukim dan penggarap di hutan, sebagian lagi dari mereka terpaksa keluar negeri menjadi buruh migran untuk mencari penghidupan. 

Reforma agraria sejati harus dapat menjawab masalah puluhan juta petani miskin, yang hanya memiliki tanah kurang dari 0,3 hektar dan tidak memiliki kemampuan mengelola tanahnya akibat tingginya biaya poduksi pertanian (bibit, pupuk, obat-obatan) karena dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan milik Imperialis, sehingga mereka terpaksa masuk dalam perangkap praktek peribaan yang mencekik. 

Bagi suku bangsa minoritas, aspirasi sejatinya adalah dikeluarkannya tanah ulayatnya dari klaim taman nasional dan berbagai jenis areal konservasi dan tidak menjadi obyek proyek investasi hijau dari Imperialis seperti bisnis karbon berkedok pengurangan emisi korban dalam rangka penanganan pemanasan global. Suku bangsa minoritas membutuhkan TANAH ULAYAT bukan HUTAN ADAT. Adalah hak bagi suku bangsa minoritas sepenuhnya untuk mengelola tanah ulayatnya, akan dihutankan, diladangkan, dikebunkan, atau disawahkan bergantung dari kemampuan pengetahuan dan teknologi hidup yang dimiliki dan dapat dikembangkan. 

Demikian pula dengan para pemukim dan penggarap di hutan yang dianggap sebagai para perambah. Para pemukim dan penggarap memanfaatkan tanah yang telah dirusak oleh Negara dan pemegang Hak konsesi penebangan kayu (HPH) selama pemerintahaan Orde Baru Suharto. Mereka terus diusir dari tanah garapan karena tanah tersebut menjadi taman Nasional, TAHURA, dan Obyek Konservasi lainya atau diberikan kepada para Tuan Tanah Besar untuk perkebunan kayu (HTI) perkebunan besar sawit, tebu, dan pertambangan besar. 

Refroma agraria sejati harus dapat membebaskan kaum tani yang memiliki tanah terbatas, memiliki kesanggupan berproduksi akan tetapi terus merugi akibat rendahnya harga produksi petani. Mereka tidak mendapat dukungan dari pemerintah, sebaliknya hasil panen mereka harus bersaing dengan produk impor pemerintah, akibat kebijakan liberalisasi pertanian. 

Reforma agraria sejati harus dapat menjawab masalah kaum tani, yang memiliki tanah terbatas, memiliki kemampuan terbatas dalam produksi, dan mendapatkan hasil dari pertanian akan tetapi tergerus terus pendapatanya akibat dari tingginya biaya hidup, biaya kesehatan dan pendidikan, serta berbagai pajak yang diterapkan oleh pemerintah saat ini. 

Pendek kata, reforma agraria sejati harus membebaskan kaum tani dari belenggu penindasan dan penghisapan system feudal dan dominasi Imperilisme yang memonopoli tanah, monopoli sarana produksi pertanian, memonopoli alat produksi dan hasil pertanian milik kaum tani. Oleh karenanya program Reforma Agraria Sejati harus dapat merombak secara pundamental kepemilikian tanah menghapuskan monopoli atas tanah oleh segelintir orang, menghancurkan monopoli sarana produksi pertanian, menghancurkan monopoli atas alat produksi pertanian dan hasil produksi pertanian. Kaum tani yang tertindas dan terhisap karena tidak memiliki tanah dan alat kerja serta kapital tidak hanya satu atau dua juta keluarga. Bukan hanya mereka yang telah berani menyuarakan kepentingannya dan berlawan terhadap para perampas tanahnya. Jutaan lainnya bernasib sama, akan tetapi dianggap tidak memiliki masalah karena masih belum berani menyuarakan kepentingannya atas tanah dan sumber daya alam lainnya. Mereka adalah mayoritas dari kaum tani bahkan mayoritas dari rakyat Indonesia. 

Sementara reforma agraria pemerintahan Jokowi pada pokoknya adalah “Pembagian Dan Sertifikasi Aset Pada Kaum Tani Untuk Agunan Kapital Dari Perbankan”. Target 2-5 juta sertifikat oleh pemerintahan Jokowi adalah implementasi dari Land Administration Project (LAP) Bank Dunia untuk kepentingan investasi dan hutang. 

Reforma agraria Jokowi, Tidak mengubah kepemilikan atas tanah, alat pertanian, input dan output pertanian. Tanah dan seluruh kekayaan alam tetap berada ditangan yang sama, para tuan tanah monopoli yang didikte oleh kepentingan imperialisme. sangat terang sasaran dari tanah-tanah yang akan diredistribusi bukanlah tanah-tanah yang saat ini dimonopoli oleh tuan tanah baik swasta maupun tanah-tanah yang dikuasai Negara. 

Reforma agraria pemerintah Jokowi, merupakan Administrasi tanah-tanah yang belum bersertifikat, yang esensinya adalah pengakuan sebagai tanah Negara, jika benar kenyataan maka program ini merupakan program domeinverklaring jilid dua yang sebelumnya dijalankan oleh colonial belanda. Prinsip domeinverklaring-prinspip hak milik negara atas tanah yang bukan UUPA dengan Hak Menguasai. Secara pelaksanaan, program refroma agraria pemerintahan Jokowi sangat serampangan, tidak adanya panitia land reform yang dibentuk secara nasional. Kementerian ATR-BPN harus menjelaskan “riwayat tanah” dan “gambar situasi” tanah 9 juta hektar yang sekonyong-konyong berada di bawah otoritasnya. Karena selama proyek LAP BPN hanya bisa mensertifikasi tanah dalam jumlah sangat terbatas karena tidak adanya pendaftaran tanah yang dilakukan. Sangat ironi, pembagian aset dan sertifikasi dilakukan ditengah terus meluasnya perampasan tanah dengan kekerasan untuk kepentingan infrastruktur, perkebunan besar, pertambangan dan taman nasional. Segelitir orang mungkin saja mendapatkan tanah baru, namun jutaan lainnya kehilangan tanah karena dirampas secara kasar maupun karena ketiadaan kemampuan untuk berproduksi. 

Bagaimana pun program land reform adalah program sangat populis. Siapapun yang berani melakukannya pasti mendapat nama di kalangan kaum tani. Pemerintah Jokowi mempermainkan penderitaan dan harapan rakyat yang sudah sangat lama mengimpikan land reform sejati. Karena begitu dalamnya penderitaan rakyat, dalam waktu tertentu rakyat berpikir jangankan pemerintah bisa membantu, tidak diusir dari tanah yang sedang digarap, tidak dianggap perambah, tanahnya tidak dirampas untuk infrastruktur saja sudah bersukur dan dianggap cukup. Pemerintah Jokowi mengulang sejarah pemerintah sebelumnya, menyesatkan dan menyalahgunakan program land reform untuk kepentingan Pemilihan Umum, Dana Pembangunan Infrastruktur, upaya meredam masalah, dan mengabdi pada kepentingan kapitalis finans monopoli internasional (Perbankan dan Institusi Keuangan). 

Implementasi perhutanan sosial, pada kenyataanya dilakukan dimana terdapat petani penggarap, dalam pengelolaan menerapkan sewa tanah dengan cara bagi hasil 20:80% dan pembatasan hak pengelolaan dengan jangka waktu 35 tahun. Penetapan hutan sosial (HKM, HTR, Hutan Desa) secara esensial merampas tanah-tanah yang selama ini sudah menjadi gantungan hidup kaum tani, penetapan zonasi hutan lindung dan hutan produksi adalah kepentingan bisnis karbon dan investasi swasta. 

Penetapan hutan adat bertentangan dengan aspirasi sukubangsa minoritas yang menginginkan pengakuan Negara atas hak ulayatnya (tanah adatnya). Penerapan hutan adat secara esensi merampas hak ulayat (tanah adatnya) sukubangsa minoritas karena wilayah ulayatnya berkurang, di tempat yang lain, penerpan hutan adat dilakukan di tempat dimana telah terdapat petani pemukim dan penggarap, yang pada kenyataanya penetapan hutan adat merampas tanah mereka dan telah melahirkan konflik horizontal antara sukubangsa minoritas dengan pendatang/ petani pemukim dan penggarap. Bagi pemerintahan Jokowi-Yusuf Kalla, program perhutanan sosial mapun hutan adat sebagai pelaksanaan bisnis dengan kedok konserfasi (trading carbon)


Sederet kebijakan pemeritahan Jokowi saat ini, jelas menunjukkan pengabdian totalnya atas kepentingan kapitalisme monopoli di Indonesia, utamanya dalam menjalankan berbagai kebijakan neoliberal seperti FTA dan turunan-turunannya. Dibawah pemerintahan Jokowi, negara semakin perkasa dalam memuluskan kepentingan investasi (korporasi). Rakyat kehilangan hak dan akses atas tanah dan sumber kehidupan, rentan dengan risiko bencana, dan pelanggaran HAM. Pemerintah dengan sengaja terus menebar teror dan intimidasi untuk meredam perlawanan rakyat. TNI Angkatan Darat kembali menjalankan kontrolnya di pedesaan dan di perkotaan.

Di pedesaan TNI AD terus mengembangkan inisiatif agar bisa melakukan control pedesaan berkedok program ekonomi desa seperti TNI Manunggal Ketahanan Pangan (TMKP), TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD), desa-desa pertahanan di daerah perbatasan. Di perkotaan, TNI AD ambil bagian langsung dalam penggusuran warga miskin di perkotaan mendukung proyek-proyek infrastruktur dibawah pendanaan lembaga keuangan dunia, melancarkan gelombang teror atas demokrasi rakyat dengan membrangus forum-forum kebebasan berkumpul dan berpendapat, bahkan diijinkan melakukan penangkapan secara langsung. Parahnya lagi, dalam setiap kasus pembebasan lahan dari tangan kaum tani, serta dimana investasi asing ditanam dan dikembangkan, selalu disertai dengan berbagai tindak kekerasan dan kriminalisasi terhadap kaum tani dan rakyat luas.

AGRA mencatat bahwa, dalam kurun waktu dua tahun sejak pemerintahan Jokowi-JK sampai dengan Mei 2016, terdapat 49 kasus tindak kekerasan dan kriminalisasi yang dialami oleh rakyat yang konsisten mempertahankan dan atau menuntut haknya atas tanah. Tindak kekerasan telah terjadi di 18 Provinsi dengan 66 orang di tembak, 144 luka-luka, 854 orang ditangkap, 10 orang meninggal dunia dan 120 orang dikriminalisasi. Bahkan dalam dua bulan terakhir ini, sekitar 200 petani kecil ditangkap dan dikriminalisasikan dengan tuduhan pembakar lahan. Lebih parah lagi, selain terus melakukan tindak kekerasan yang semakin intensif, dalam 4 bulan sepanjang bulan Maret-Juni 2016 lalu sedikitnya 5,000 orang petani, suku bangsa minoritas dan masyarakat pedesaan di Papua telah ditangkap paksa oleh aparat.

Tindak kekerasan, penangkapan dan kriminalisasi tersebut terjadi hampir diseluruh daerah, seperti yang terjadi baru-baru ini di Lombok, Nusa tenggara Barat. Dua orang petani dikriminalisasi dengan tuduhan merambah hutan diatas tanah leluluhurnya yang diklaim sebagai wilayah yang termasuk kedalam kawasan taman nasional gunung rinjani (TNGR). Padahal mereka sudah turun-temurun sejak jaman moyangnya mengelola lahan hutan tersebut sebagai sandaran hidup keluarganya. Demikian Juga dengan penangkapan yang terjadi terhadap empat orang petani di Kabupaten Dompu. Mereka ditangkap setelah melakukan aksi menuntut kejelasan status kerja, upah dan jaminan social didepan kantor perusahaan perkebunan tebu tempat mereka bekerja. Kekerasan dan kriminalisasi juga terjadi terhadap kaum tani di Lampung, Sumatera. Aparat kepolisian, tentara dan preman yang dimobilisasi oleh PT.BNIL yang merupakan anak usaha PT. Sungai Budi group melakukan pembubaran paksa dengan aksi pembakaran kamp, penembakan dan pemukulan terhadap petani yang menuntut pengembalian tanah nenek moyangnya yang dirampas untuk perkebunan tebu dengan cara melakukan pendudukan lahan. Kaum tani dibubarkan setelah berhasil menduduki lahan selama seminggu, yakni lahan keluarga kaum tani yang dirampas oleh Perusahaan Perkebunan Sawit yang dalam perkembangannya melakukan konversi ke perkebunan tebu. Akibatnya,18 orang petani ditangkap, dimana 6 orang diantaranya dikrimionalkan dan sejumlah orang pimpinan tani yang memimpin aksi tersebut ditetapkan kedalam daftar pencarian orang (DPO).

Kasus serupa, baru-baru ini ribuan keluarga kaum tani di Desa Sukamulya, Kertajati, Majalengka Jawa Barat juga tergusur akibat rencana pembangunan proyek Badara Internasional Jawa Barat (BIJB). Kaum tani dan masyarakat yang berusaha mempertahankan tanah dan tempat tinggalnya justeru dihadapkan dengan tindak kekerasan dan kriminalisasi. Begitu juga di desa Sukamlya, kecamatan Rumpin kabupaten Bogor, baru-baru ini 3 orang petani dilaporkan kekepolisian karena menolak pengoperalihan asset desa dan asset pemda kabupaten bogor kepada pengusaha.

Kekerasan yang dilakukan karena upaya merampas tanah rakya maupun mempertahankan monopoli tanah oleh Negara dan pengusaha merupakan bukti nyata bahwa reforma agrarian yang selama ini didengungkan Jokowi dan para pengikutnya bukanlah untuk kepentingan kaum tani. 

Atas dasar kenyataan diatas, maka dalam momentum menyambut Hari Buruh Internasional 2017 ini pimpinan pusat Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) menyerukan kepada seluruh jajaran pimpinan dan anggota AGRA untuk terus memperbesar organisasinya dan memasifkan kampanye menolak pelaksanaan reforma agrarian palsu pemerintah Jokowi-JK dan menuntut dilaksanakannya reforma agrarian Sejati dengan cara : 

  • Ø Terus menerus mendidik kaum tani dan mempropagandakan kepada rakyat luas tentang hakekat reforma sejati dan reforma agrarian palsu Jokowi –JK serta kebusukan imperialism, feodalosme dan kapitalisme birokrat. 
  • Ø Mobilisasi seluas-luasnya kaum tani untuk menuntut hak atas tanah kepada pemerintahan Jokowi-JK secara terus menerus 
  • Ø Menuntut kenaikan harga hasil produksi pertanian di masing-masing wilayah kerja seperti kelapa sawit, karet dll.
  • Ø Menuntut penurunan biaya produksi pertanian (harga sarana produksi pertanian) dan penurunan harga kebutuhan hidup (sembako, TDL, LPG dll).
  • Ø Memobilisasi seluas-luasnya buruh tani diperkebunan-perkebunan skala besar untuk menuntut perbaikan hidup, dngan manaikan upah, status kerja, berbagai tunjangan pokok seperti kesehatan, pendidikan anak dll
  • Ø Menuntut untuk dihentikanya kekrasan dan pemeberangusan kebebasan politik.
  • Ø Dan tuntutan tuntutan lain sesuai dengan keadaan masing-masing daerah.

Komentar