Peringati May Day, Inilah Seruan Bentuk Perlawanan Rakyat Terhadap Rezim Jokowi-JK

Agrabulukumba“Galang Persatuan Rakyat-Lawan Paket Kebijakan Jokowi Yang Mengabdi Pada Imperialis dan Menyesengsarakan Rakyat”

May Day

Peringatan hari Buruh Internasional, bukanlah semata mata milik kelas buruh, namun peringatan hari buruh adalah milik seluruh kelas pekerja.

Resolusi Rapat Dewan Pimpinan Pusat telah menetapkan bahwa momen peringatan hari buruh yang jatuh pada tanggal satu mei, haruslah dapat digunakan oleh kita untuk memobilisasi massa kaum tani (buruh tani, tani miskin) untuk meminta distribusi tanah untuk mereka. Tindakan politik ini sekali lagi bukan berarti kita masuk dalam skema Reforma Agraria yang sedang di jalankan oleh pemerintahan Jokowi-JK. Namun tindakan politik ini memiliki dua kedudukan penting, yakni memobilisasi massa untuk kepentingan mengorganisasikan mereka dalam organisasi kita. Tindakan politik ini juga sebagai bentuk perlawanan terhadap implementasi RA Palsu pemerintahaan Jokowi-JK. Oleh karenanya yang kita mobilisasi adalah orang dan bukan data ataupun dokumen.

Selain isu Reforma Agraria, dalam momentum peringatan hari buruh harus dapat kita gunakan untuk mengkampanyekan berbagai problem kaum tani dan perjuangan reforma agraria minimum, hal ini didasarkan atas persoalan kaum tani.

  May Day 



  
Kemerosotan hidup kaum tani dan rakyat Indonesia akibat masifnya penghisapan dan penindasan oleh Jokowi-JK sebagai pengabdiannya pada imperialism

Krisis imperilisme (kapitalismonopoli) semakin memburuk, Imperialisme melalui pemerintahan bonekanya di Indonesia yaitu Jokowi-JK semakin mengintensifkan penghisapan dalam mengatasi krisisnya dan meningkatkan kadar penindasannya sebagai cara mengamankan skema penghisapan. Penghidupan kaum tani dan rakyat Indonesia semakin merosot akibat kebijakan neoliberalisme imperialis dan implementasinya oleh rezim boneka.

Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi sebagai implementasi skema neolieralisme imperialis AS telah menjadikan penghidupan buruh diperkotaan semakin merosot, akibat tingginya defisit upah dan penurunan nilai riil upah. Jokowi telah membatasi kenaikan upah buruh tidak lebih dari 10 % dengan formulasinya melalui PP No. 78 tahun 2015. Di Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta kenaikan upah buruh tahun 2017 hanya sebesar 8, 25% berdasarkan pada tingkat inflasi 3,07% yang ditambahkan dengan pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 5,18%.


Selain itu, PP No. 78 tahun 2015 juga telah mengekang hak demokratis buruh dalam perundingan penentuan upah, atau tidak adanya fungsi Dewan Pengupahan yang melibatkan serikat buruh, karena formulasi upah sudah ditentukan. Di DKI Jakarta, gubernur DKI mengeluarkan peraturan gubernur DKI Jakarta No. 227 tahun 2016 tentang Upah Minimum Propinsi (UMP) tahun 2017, dan untuk memastikan seluruh kepala daerah mematuhi PP. No. 78/2015 sebagai kewajiban untuk melaksanakan Program Strategis Nasional yang tertuang dalam paket kebijakan ekonomi jilid ke-IV, maka Mentri Dalam negri mengeluarkan surat edaran pada 17 Oktober 2016 sebagai respon atas hasil kebijakan upah minimum 2016 di berbagai daerah yang tidak berdasarkan formula PP No. 78 tahun 2015, termasuk DKI Jakarta yang menetapkan kenaikan sebesar 11,5 persen.

Di sisi yang lain, pemerintah juga memberikan kesempatan bagi pengusaha untuk menekan upah buruh dan berbagai perjuangan atas hak-hak demokratisnya melalui permen No. 8 tahun 2016 tentang pembentukan forum atara pengusaha dan serikatt-serikat buruh di perusahaan dalam kawasan ekonomi khusus yang dapat menentukan upah, tentang, mogok kerja dll. Peraturan mentri ini akan menjadikan buruh semakin tertekan oleh pebngusaha dan pimpinan serikat-serikat buruh yang dibentuk pemerintah dan pengusaha dalam penentuan upah. Penghidupan rakyat diperkotaan secara umum terus merosot. Mereka hanya mendapatkan pendapatan dan upah yang kecil dan tidak tetap,tidak adanya kepastian kerja, penggusuran yang makin intensif, beban hidup semakin berat akibat tingginya harga kebutuhan pokok. 

Di perdesaan, kehidupan kaum tani tidak kalah sengsaranya, masifnya perampasan tanah untuk berbagai proyek besar pemerintahan jokowi, perluasan perkebunan skala besar dan pertambangan dengan berbagai cara, tingginya biaya produksi dan rendahnya harga hasil produksi kaum tani serta tingginya biaya hidup akibat melonjaknya harga kebutuhan pokok dan berbagai tanggungan seperti TDL, biaya kesehatan dll telah memerosotkan taraf kehidupan kaum tani kejurang kemiskinan yang makin dalam. 


Mayoritas kaum tani Indonesia tidak bertanah atau memiliki tanah yang sangat terbatas, terpaksa hidup dari menjual tenaganya dengan murah, bekerja dengan peralatan pertanian dan pengetahuann serta teknologi yang sangat terbelakang. Tenaga dan kerja yang terserap dalam produksi pertanian sangat besar sangat tidak sebanding dengan hasil produksi dan pendapatan yang diterima kaum tani. Mereka hidup sebagai tani miskin, buruh tani dan tani sedang bawah. Mereka yang memiliki tanah sanggup berproduksi tetapi hasil produksinya terbatas dan murah harganya-banyak diantara mereka meninggalkan tanahnya bekerja musiman di perkotaan atau mencari tanah lain yang lebih subur menjadi pemukim penggarap; mereka yang memiliki tanah tetapi tidak memiliki modal untuk berproduksi. Hal ini dimanfaatkan oleh Jokowi-JK untuk menyerahkan mereka Ke Mulut Kapital Finans Sebagai Plasma, mitra maupun sebagai sasaran sertifikasi agar dapat diagunkan ke Bank. Mereka yang tidak memiliki tanah menjadi buruh murah harian lepas di perkebunan besar atau kerja serabutan pada tuan tanah dan tani kaya di pedesaan, pindah ke kota jadi buruh kasar, serta menjadi buruh migran ke luar negeri dan pulau lainnya. 

Untuk tetap dapat berproduksi, kaum tani harus mengeluarkan biaya yang tinggi akibat monopoli sarana produksi pertanian oleh perusahaan besar produsen bibit, pupuk dan obat-obatan pertanian milik imperialism seperti Cargil, Monsanto, Bayer, Duppon dll, serta di cabutnya subsidi pertanian oleh pemerintah akibat skema perdagangan bebas melalui berbagai perjanjian seperti WTO, TPP dan RCEP. untuk tanaman komoditas perkebunan seperti sawit, karet, dan tebu setidaknya butuh 600 Kg pupuk campuran terdiri dari Phonska, Urea dan KCL untuk 2 kali masa pemupukan dalan satu tahun dalam setiap hektarnya, harga phonska mencapai Rp. 340.000/ kwintal, urea Rp. 210.000/ kwintal dan KCL Rp. 600.000/kwintal. 

Untuk 1 hektar tanah yang ditanami komoditas perkebunan petani harus mengeluarkan biaya pemupukan sebesar Rp. 2.300.000, sementara untuk membersihkan gulma mayoritas petani menggunakan herbisida atau obat semprot rumput 10 liter untuk 2 kali penyemprotan dengan harga rata-rata Rp. 50.000/ liter atau Rp. 500.000 pertahun. Dalam 1 tahun untuk kebutuhan pupuk dan obat semprot saja petani komoditas perkebunan membutuhkan biaya sebesar Rp. 2800.000 atau sekitar Rp. 234.000/ bulan, belum lagi tenaga kerja, serta alat-alat seperti pisau deres, talang, asam cuka untuk komoditas karet, dodos untuk kelapa sawit yang sudah harus diganti setiap tahunnya. Sementara hasil yang diterima tidaklah sebanding.

Untuk komoditas karet hanya 125 kg karet beku (CL/ Lump) per minggu/ sekali timbang atau 500 Kg perbulan dengan harga saat ini Rp 6200/Kg dengan potongan minimal 2 kg setiap kali nimbang, artinya petani karet hanya menghasilkan Rp. 3.050.400/ bulan. 

Hal ini berbanding terbalik dengan kebutuhan biaya hidup yang makin tinggi akibat mahalnya harga kebutuhan pokok, naiknya tarif dasar listrik, naiknya pungutan biaya kesehatan (BPJS) serta transportasi dan biaya pendidikan anak. Rata-rata kebutuhan hidup kaum tani dengan 2 orang anak usia sekolah rata-rata mencapai Rp.3.720.000/ bulan dengan rincian kebutuhan harian berupa beras 1,5 kg/ Rp.15.000, kebutuhan belanja lauk pauk dan bumbu untuk 3 kali makan Rp. 45.000, bensin/ transportasi Rp. 15.000, jajan 2 orang anak Rp. 30.000, kebutuhan bulanan untuk mandi dan cuci Rp. 70.000, untuk LPG (Gas) 4 tabung 3 Kg Rp. 88.000 (dengan harga rata-rata 22.000/kg), lisrik rata-rata Rp. 160.000, biaya pendidikan 2 anak Rp.150.000, bayar BPJS kelas III Rp. 102.000. 

kebutuhan lebih besar bagi petani yang ditempat tinggalnya belum ada aliran listrik PLN, mereka harus mengeluarkan biaya untuk beli solar setidaknya 3-4 liter perhari untuk mesin diesel. Dan jika di gabungkan antara kebutuhan hidup dan kebutuhan untuk produksi, maka kebutuhan rumah tangga tani perbulan Rp. 3.954.000, artinya masih defisit sebesar Rp. 903.600. untuk menutupi kekurangan inilah petani dengan tanaman komoditas karet yang hanya punya 1 Ha lahan harus menjual tenaganya minimal 20 hari dalam satu bulan atau terpaksa terjerat peribaan dengan tengkulak dan lintah darat atau tukang ijon. Hal serupa juga terjadi pada petani dengan komoditas kelapa sawit.

Kebutuhan biaya produksi lebih tinggi bagi petani komoditas pangan seperti padi, palawija, atau sayur mayur, rata-rata butuh 5 kwintal pupuk campuran per hektar untuk setiap musim tanam, terdiri dari 2 kwintal urea, 2 kwintal phonska, 1 kwintal KCL, belum lagi obat-obatan untuk hama maupun herbisida dan pupuk kandang. Sementara harga hasil produksi sangatlah rendah karena terus dihadapkan dengan produk impor. ribuan petani kentang dari Wonosobo yang mendatangi kementrian perdagangan beberapa waktu lalu menunjukan betapa menderitanya petani sayuran ketika dihadapkan dengan produk impor. Penderitaan paling dalam dialami oleh petani plasma untuk perkebunan skala besar, selain dihadapkan dengan potongan (hutang tanam dan perawatan) yang tak pernah selesai, petani juga dihadapkan dengan dengan biaya re-planting yang tinggi, petani plasma diperkebunan hanya mendapat hasil Rp. 100 s/d 300 ribu/ hektar setiap bulannya yang biasanya dibayarkan setiap 3 atau 4 bulan sekali. 

Disisi lain penarikan uang rakyat semakin massif oleh pemerintahan Jokowi, mulai dari naiknya harga BBM, TDL, Asuransi kesehatan (BPJS), Asuransi tani sampai pajak natura untuk produk kelapa sawit (CPO Fund) dan akan menyusul komoditas unggulan lainnya seperti karet, tebu, kakau dll. Kondisi yang buruk juga dialami mereka yang memiliki tanah akan tetapi dilarang untuk diproduksi karena alasan ekologi dan juga memiliki pengetahuan bertani terbatas seperti suku bangsa minoritas; dan mereka yang memiliki tanah akan tetapi terus menjadi korban perampasan tanah. 

Memasuki awal tahun 2017, Jokowi memberikan kado pahit dan derita bagi rakyat Indonesia dengan mengeluakan kebiajkan untuk menaikan Listrik hingga 123% selama tahun 2017 dengan skema kenaikan setiap tiga bulan sekali. Pemerintah juga menaikan harga BBM non subsidi yang rata rata mencapai 4% setiap jenisnya. Diwaktu yang bersamaan Jokowi menaikan biaya pengurusan surat kendaraan (STNK dan BPKB) hingga mencapai 180,7%.

Kebijkan pemerintah Jokowi yang menaikan, Listrik, BBM dan Pengurusan surat kendaraan sangat membebani hidup rakyat, terlebih disaat bersamaan rakyat harus juga menghadapi kenyataan naiknya berbagai harga sembako yang rata-rata mencapai 17%, belum lagi kebijakan pemerintah yang menaikan juga cukai rokok rata-rata 10%. Tentusaja kita dapat membayangkan seberapa besar derita yang diberikan oleh pemerintahan Jokowi, dan rakyat dipaksa untuk hidup dengan cara-cara yang takbiasa lagi. Kondisi terus menerus dihisap dan ditindas ini telah membangkitkan kesadaran dan gerakan luas kaum tani diberbagai daerah menuntut reforma agrarian sejati. Tingginya tuntutan reforma agrarian oleh kaum tani ini dimanfaatkan oleh Jokowi-JK untuk mengukuhkan posisinya sebagai penguasa sekaligus sebagai pengabdi setia imperialism dan tuan tanah besar dengan meluncurkan program reforma agrarian palsu yang ilusif.

Komentar